Di era ketika informasi bergerak lebih cepat daripada kedipan mata, media sosial menjadi ruang yang sangat mudah untuk berbagi apa saja. Satu gambar, satu potongan video, atau satu kalimat yang belum tentu benar bisa tersebar ke seluruh penjuru dalam hitungan menit. Banyak orang tidak sadar bahwa di balik setiap “share”, ada tanggung jawab besar yang melekat pada diri seorang muslim. Di sinilah pentingnya tarhib – peringatan keras dari agama – agar kita tidak terjerumus dalam dosa yang datang melalui jari-jari kita sendiri.
Fenomena hoax dan fitnah digital bukan lagi sesuatu yang jauh. Ia bisa muncul di grup keluarga, di kolom komentar, bahkan dari akun-akun yang tampak religius. Terkadang seseorang merasa sekadar membagikan ulang informasi, tanpa pernah mengecek kebenarannya. Padahal, sekali tersebar, dampaknya bisa menghancurkan nama baik seseorang, memecah belah keluarga, merusak reputasi, bahkan mengundang kebencian publik. Betapa sering kita melihat satu video viral yang belakangan ternyata tidak sesuai fakta, tetapi sudah terlanjur menodai kehormatan pelakunya.
Islam memberi peringatan tegas tentang bahaya besar dari menyebarkan berita bohong. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang yang fasik membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al-Hujurât: 6)
Ayat ini bukan sekadar nasihat, tetapi pagar keselamatan agar kita tidak menjadi penyebab kezaliman terhadap orang lain. Sebab, setiap informasi yang salah bisa berubah menjadi fitnah yang memakan korban.
Rasulullah ﷺ juga mengingatkan ancaman yang sangat keras bagi orang yang menyebarkan berita bohong. Beliau bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta ketika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Hadits ini begitu relevan dengan kondisi hari ini. Banyak orang terbiasa membagikan apa pun yang lewat di berandanya. Tidak dicek, tidak disaring, tidak dipikirkan dampaknya. Hanya karena terlihat menarik atau mengejutkan, tombol “forward” ditekan begitu saja.
Lebih dari itu, menyebarkan fitnah – baik sengaja maupun tidak – termasuk dosa besar yang ancamannya begitu berat. Bagaimana tidak? Fitnah bisa merusak kehormatan seorang muslim, padahal Islam memuliakan kehormatan manusia dengan sangat tinggi. Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (untuk dilanggar).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kehormatan seorang muslim disebutkan sejajar dengan darah dan hartanya. Betapa berharganya ia di sisi Allah. Maka bagaimana mungkin kita dengan mudah merusaknya hanya lewat caption dan share yang tidak dipikirkan?
Di dunia digital yang penuh kecepatan ini, tarhib Islam datang sebagai rem, sebagai kontrol diri. Ia mengingatkan bahwa apa yang kita sebarkan tidak hilang begitu saja. Setiap kata tercatat, setiap unggahan dipertanggungjawabkan, dan setiap fitnah yang menyebar akan kembali kepada pelakunya. Bahkan setelah seseorang tidur, ponselnya mati, dan akun sosial medianya tidak aktif sekalipun, dosa dari postingan yang terus menyebar bisa terus mengalir.
Namun, agama tidak hanya memberi peringatan. Ia juga membuka jalan untuk memperbaiki diri. Kita bisa mulai dengan lebih berhati-hati, memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, dan memilih untuk diam ketika tidak yakin. Diam bukan kelemahan; dalam banyak situasi, diam adalah bentuk ibadah. Diam adalah penjagaan kehormatan orang lain, sekaligus penjagaan diri sendiri dari dosa yang berat.
Di tengah derasnya arus informasi, menjadi muslim yang bijak adalah kebutuhan. Setiap jari yang menekan layar adalah pilihan: apakah kita menjadi penyebar kebaikan atau penyebar keburukan. Semoga Allah menjaga lisan dan jari kita dari hal-hal yang bisa menyeret kita kepada kebinasaan. Dan semoga kita semua mampu menjadi pribadi yang menimbang setiap ucapan dengan hati-hati, sehingga kehadiran kita di dunia digital menjadi sebab tersebarnya rahmat, bukan fitnah.




